Selasa, 23 Juli 2013

"GURU KURIKULUM YANG SESUNGGUHNYA"



GURU KURIKULUM YANG SESUNGGUHNYA
Oleh: Soleman Montori
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat “memaksa” kurikulum harus disesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Penyempurnaan kurikulum dimaksudkan agar diperoleh proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan beban belajar, potensi siswa, keadaan lingkungan dan sarana prasarana pendukungnya, serta untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaiannya dengan tingkat perkembangan siswa.
Kurikulum (curriculum) berasal dari kata carier yang berarti pelari, curere yang berarti tempat berpacu, dan currerre yang berarti jumlah yang diempuh. Ketiga kata ini berasal dari bahasa Yunani dan merupakan istilah di dalam dunia olahraga. Kurikulum dalam dunia olah raga diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk memperoleh medali atau penghargaan. Kemudian diadopsi dan diadaptasi ke dalam dunia pendidikan.
Pengertian kurikulum dalam dunia pendidikan ada yang diartikan secara tradisional dan ada yang modern. Kurikulum secara tradisional diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh, dijalani, dipelajari dan dikuasai oleh siswa  untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau untuk mendapatkan ijazah. Sedangkan secara modern, kurikulum diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. 
Dunia pendidikan mengenal istilah kurikulum tertulis dan tidak tertulis. Kurikulum tertulis terdiri atas kurikulum sebagai program dan kurikulum sebagai dokumen. Kurikulum sebagai program terdiri atas persiapan administrasi guru, pemberian tugas atau pekerjaan rumah (PR) bagi siswa, praktik di laboratorium, dan sejumlah kegiatan lainnya yang diprogramkan secara terencana. Sedangkan kurikulum sebagai dokumen adalah kurikulum yang disiapkan oleh pemerintah sebagai acuan guru dalam mengajar.
Dalam tulisan ini yang akan dibahas adalah kurikulum sebagai dokumen. Kurikulum sebagai dokumen telah beberapa kali mengalami penyesuaian, perubahan dan berganti nama. Nama kurikulum pada umumnya mengikuti tahun ketika diterapkan atau tahun mulai diberlakukannya kurikulum. Istilah kurikulum di Indonesia mulai digunakan pada tahun 1968. Tahun-tahun sebelumnya tidak menggunakan istilah kurikulum, walaupun kontennya adalah tentang kurikulum.
Sejak tahun 1945, bangsa Indonesia sudah sepuluh kali mengalami perubahan, pembaruan atau pergantian kurikulum, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 2013. Perubahan yang dilakukan merupakan konsekuensi logis akibat terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan perkembangan iptek.
Kurikulum bangsa Indonesia pertama kali lahir pada awal masa kemerdekaan Tahun 1947. Namanya bukan kurikulum, tapi leer plan (bahasa Belanda) atau Rencana Pelajaran. Ciri utama Rencana Pelajaran  adalah mengurangi pendidikan pikiran (kognitif), tapi lebih menekankan  pembentukan karakter manusia yang berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain.  Pendidikan karakter (afektif) lebih diutamakan, juga kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Muatan kurikulumnya sangat sederhana. Materi pelajaran yang diajarkan dihubungkan dengan kejadian sehari-hari. Kesenian dan pendidikan jasmani juga mendapat perhatian.
Berbagai kelemahan membuat kurikulum yang disebut Rencana Pelajaran ini tidak bertahan lama, sehingga lima tahun kemudian muncul kurikulum 1952 sebagai penggantinya; yang isinya lebih merinci setiap mata pelajaran. Kurikulum pengganti ini dikenal dengan sebutan Rencana Pelajaran Terurai 1952. Silabus mata pelajarannya sangat jelas, dan guru hanya dimungkinkan mengajar satu mata pelajaran. Rencana Pelajaran Terurai ini juga tidak bertahan lama, karena duabelas tahun kemudian muncul Kurikulum 1964, yang dikenal dengan sebutan Rencana Pendidikan 1964. Rencana Pendidikan lebih difokuskan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Tujuannya agar rakyat Indonesia mendapat pengetahuan akademik. Mata pelajarannya diklasifikasi dalam lima kelompok bidang studi, yaitu moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmani. Konsep pembelajarannya mewajibkan sekolah membimbing siswa agar mampu memikirkan sendiri pemecahan persoalan (problem solving).
Kelemahan Kurikulum 1964 yang bersifat teoritis dan tidak mengaitkan masalah aktual di lapangan membuatnya empat tahun kemudian diganti dengan Kurikulum 1968. Pancawardhana di dalam kurikulum 1964 diubah menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Isinya diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Tujuannya adalah untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Kurikulum 1968 bersifat correlated subject curriculum, artinya materi pelajaran pada tingkat bawah memiliki korelasi dengan kurikulum sekolah lanjutan.
            Tujuh tahun kemudian, muncul Kurikulum  1975, sebagai pengganti kurikulum 1968. Isinya lebih menekankan pada tujuan agar pendidikan lebih efektif dan efisien. Metode, materi, dan tujuan pengajaran di dalam Kurikulum 1975 dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Pada masa pemberlakuan Kurikulum 1975 ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran pada setiap satuan bahasan; lalu setiap satuan pelajaran dirinci lagi menjadi Tujuan Instruksional Umum (TIU), Tujuan Instruksional Khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kelemahan kurikulum ini membuat guru sibuk menulis rincian  yang akan dicapai dalam setiap kegiatan pembelajaran.
Kurikulum 1975 yang dilaksanakan secara nasional pada tahun 1976 hanya bertahan selama sembilan tahun; lalu diganti dengan kurikulum 1984, yang mengusung process skill approach. Kurikulum ini mengutamakan pendekatan proses, namun faktor tujuan tetap diberi porsi. Kurikulum ini sering juga disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa pada kurikulum ini ditempatkan sebagai subjek belajar; mulai dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan hasilnya kepada guru. Model pembelajaran seperti ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaarning (SAL). Namun dalam implementasinya di lapangan, konsep CBSA hanya elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, tapi mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Itu terjadi karena banyak sekolah dan guru tidak mampu menafsirkan dan menerapkan CBSA dengan baik.
Kurikulum 1984 yang lahir karena adanya perkembangan baru dalam masyarakat juga tidak bertahan lama, karena sepuluh tahun kemudian diganti dengan Kurikulum 1994 dan Suplemennya (1999). Kurikulum 1994 lahir sebagai upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Jiwanya ingin mengkombinasikan isi Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984. Isinya dibagi dua, yaitu 80 persen muatan nasional dan 20 persen muatan lokal. Muatan nasional (80 persen) bersifat esensial/inti, sehingga memberi peluang kepada daerah untuk menjabarkan dan menyesuaikan sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat setempat. Sedangkan isi kurikulum muatan lokal  disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Kejatuhan rezim Soeharto tahun 1998 diikuti dengan kehadiran suplemen Kurikulum 1994 pada tahun1999 berupa pengurangan, pemindahan, penambahan dan penghilangan sejumlah materi. Beban belajar siswa terlalu berat, dan ujian  sering dilaksanakan melalui sistem catur wulan,  dan kurang relevan dengan kehidupan sehari-hari merupakan kelemahan kurikulum 1994.
            Beban belajar siswa yang terlalu berat dan materi pelajaran yang terlalu sukar membuat Kurikulum 1994 hanya bertahan selama sepuluh tahun, lalu diganti dengan Kurikulum 2004.    Kurikulum 1994 disempurnakan akibat konsekuensi logis dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, dan sebagai respons dari era sentralisasi ke desentralistik, sehingga lahirlah Kurikulum 2004, yang populer dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Karakterisitik KBK menekankan pada pencapaian kompetensi siswa, bukan pada tuntasnya materi. Karakteristik lainnya adalah mendorong siswa belajar mengetahui (learning how to know), belajar melakukan (learning how to do),  belajar menjadi diri sendiri (learning how to be), dan belajar hidup dalam keberagaman (learning how to live together). Kurikulum ini menitikberatkan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) siswa, baik secara individual maupun klasikal; berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman; penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; dan menggunakan sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Kelemahannya, relatif banyak guru yang tidak paham tentang kompetensi yang diinginkan oleh kurikulum.
            Berbagai masukan dan sumbang saran perbaikan, dan sejumlah kelemahan di antaranya masih kurangnya SDM potensial untuk menjabarkan KBK mengakibatkan KBK hanya bertahan selama dua tahun, lalu diganti dengan kurikulum 2006, yang dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang merupakan perbaikan dari KBK. Esensi isi dan arah pengembangan pembelajarannya masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi,  bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter. Sekolah diberi kewenangan penuh  menyusun KTSP dengan mengacu pada standar-standar yang ditetapkan. Dengan kata lain, KTSP merupakan kurikulum yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan. Perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian diberi kewenangan kepada satuan pendidikan (sekolah) dibawa koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk menyusun atau mengembangkannya.

Kurangnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP dan banyaknya guru yang belum memahami KTSP secara komprehensif mengakibatkan KTSP hanya mampu bertahan selama tujuh tahun. Penggantinya adalah Kurikulum 2013. Ciri Kurikulum 2013 yang paling mendasar adalah menuntut kemapuan guru agar memiliki pengetahuan dan mencari tahu pengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa zaman sekarang dengan adanya perkembangan teknologi dan informasi lebih banyak mengetahui dibanding guru yang tidak inovatif dan tidak kreatif. Siswa di dalam Kurikulum 2013 didorong agar mememiliki tanggung jawab kepada lingkungan, memiliki kemampuan interpersonal, antarpersonal, dan diharapkan memiliki kemampuan berpikir kritis. Tujuannya adalah untuk terbentuknya generasi produktif, kreatif, inovatif, dan afektif. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,  Prof. Ir. Muhammad Nuh, DEA menegaskan bahwa kurikukulum 2013  lebih ditekankan pada kompetensi, yaitu kompetensi berbasis sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Juga dikatakan oleh Muhammad Nuh bahwa kurikulum 2013 untuk tingkat SD dilakukan melalui  pendekatan tematik integrative, dengan cara memberi kesempatan kepada siswa untuk mengenal dan memahami suatu tema dalam berbagai mata pelajaran. Terdapat empat aspek dalam implementasi dan keterlaksanaan kurikulum 2013, yaitu kompetensi profesional guru dalam pemahaman substansi bahan ajar, kompetensi akademik guru dalam  menguasai metode penyampaian mata pelajaran kepada siswa, kompetensi sosial supaya guru tidak bertindak asosial kepada siswa, dan kompetensi manajerial atau kepemimpinan,  karena sikap dan tindakan seorang guru akan digugu dan ditiru siswa.  
Kurikulum  2013 bersifat integratif. Walaupun masih sulit dinilai kelemahannya karena baru dilaksanakan,  namun sejumlah sumbang saran yang menunjukkan kelemahannya mengakibatkan Kurikulum 2013 ini nampaknya mengalami nasib yang sama dengan Kurikulum 1975 yang tertunda pelaksanaannya secara nasional. Berbagai hambatan di lapangan membuat Kurikulum 2013  belum dapat dilaksanakan secara nasional; sehingga yang melaksanakan pada tahun 2013 ini hanya sekolah yang dinilai mampu menerapkannya.   
Apa pun bentuk kurikulum dan perubahannya, kurikulum yang sesungguhnya adalah guru. Setiap kurikulum pasti memiliki keuanggulan dan kelemahannya sendiri-sendiri, namun kurikulum yang  baik dan unggul adalah guru yang mandiri, inovatif dan kreatif.***
                                                                                                 Penulis, S. Montori.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar