“GURU KURIKULUM YANG SESUNGGUHNYA”
Oleh: Soleman Montori
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang pesat “memaksa” kurikulum harus disesuaikan dengan tuntutan
perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Penyempurnaan kurikulum dimaksudkan
agar diperoleh proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan
beban belajar, potensi siswa, keadaan lingkungan dan sarana prasarana pendukungnya,
serta untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaiannya
dengan tingkat perkembangan siswa.
Kurikulum (curriculum) berasal dari kata carier
yang berarti pelari, curere yang berarti
tempat berpacu, dan currerre yang
berarti jumlah yang diempuh. Ketiga kata ini berasal dari bahasa Yunani dan merupakan
istilah di dalam dunia olahraga. Kurikulum dalam dunia olah raga diartikan
sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai
finish untuk memperoleh medali atau penghargaan. Kemudian diadopsi dan
diadaptasi ke dalam dunia pendidikan.
Pengertian kurikulum dalam dunia pendidikan ada yang diartikan secara
tradisional dan ada yang modern. Kurikulum secara tradisional diartikan sebagai
sejumlah mata pelajaran yang harus
ditempuh, dijalani, dipelajari dan dikuasai oleh siswa untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau
untuk mendapatkan ijazah. Sedangkan secara modern, kurikulum diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan.
Dunia pendidikan mengenal istilah
kurikulum tertulis dan tidak tertulis. Kurikulum tertulis terdiri atas
kurikulum sebagai program dan kurikulum sebagai dokumen. Kurikulum sebagai
program terdiri atas persiapan administrasi guru, pemberian tugas atau
pekerjaan rumah (PR) bagi siswa, praktik di laboratorium, dan sejumlah kegiatan
lainnya yang diprogramkan secara terencana. Sedangkan kurikulum sebagai dokumen
adalah kurikulum yang disiapkan oleh pemerintah sebagai acuan guru dalam
mengajar.
Dalam tulisan ini yang akan
dibahas adalah kurikulum sebagai dokumen. Kurikulum sebagai dokumen telah
beberapa kali mengalami penyesuaian, perubahan dan berganti nama. Nama
kurikulum pada umumnya mengikuti tahun ketika diterapkan atau tahun mulai diberlakukannya
kurikulum. Istilah kurikulum di Indonesia mulai digunakan pada tahun 1968.
Tahun-tahun sebelumnya tidak menggunakan istilah kurikulum, walaupun kontennya
adalah tentang kurikulum.
Sejak tahun 1945, bangsa
Indonesia sudah sepuluh kali mengalami perubahan, pembaruan atau pergantian
kurikulum, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006,
dan 2013. Perubahan yang dilakukan merupakan konsekuensi logis akibat terjadinya
perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan perkembangan iptek.
Kurikulum
bangsa Indonesia pertama kali lahir pada awal masa kemerdekaan Tahun 1947. Namanya
bukan kurikulum, tapi leer plan
(bahasa Belanda) atau Rencana Pelajaran. Ciri utama Rencana Pelajaran adalah
mengurangi pendidikan pikiran (kognitif), tapi lebih menekankan pembentukan karakter manusia yang berdaulat
dan sejajar dengan bangsa lain.
Pendidikan karakter (afektif) lebih diutamakan, juga kesadaran bernegara
dan bermasyarakat. Muatan kurikulumnya sangat sederhana. Materi pelajaran yang
diajarkan dihubungkan dengan kejadian sehari-hari. Kesenian dan pendidikan
jasmani juga mendapat perhatian.
Berbagai kelemahan membuat
kurikulum yang disebut Rencana Pelajaran ini tidak bertahan lama, sehingga lima
tahun kemudian muncul kurikulum 1952 sebagai penggantinya; yang isinya lebih merinci
setiap mata pelajaran. Kurikulum pengganti ini dikenal dengan sebutan Rencana
Pelajaran Terurai 1952. Silabus mata pelajarannya sangat jelas, dan guru hanya
dimungkinkan mengajar satu mata pelajaran. Rencana Pelajaran Terurai ini juga
tidak bertahan lama, karena duabelas tahun kemudian muncul Kurikulum 1964, yang
dikenal dengan sebutan Rencana Pendidikan 1964. Rencana Pendidikan lebih
difokuskan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral
(Pancawardhana). Tujuannya agar rakyat Indonesia mendapat pengetahuan akademik.
Mata pelajarannya diklasifikasi dalam lima kelompok bidang studi, yaitu moral,
kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmani. Konsep
pembelajarannya mewajibkan sekolah membimbing siswa agar mampu memikirkan
sendiri pemecahan persoalan (problem
solving).
Kelemahan Kurikulum 1964 yang bersifat
teoritis dan tidak mengaitkan masalah aktual di lapangan membuatnya empat tahun
kemudian diganti dengan Kurikulum 1968. Pancawardhana di dalam kurikulum 1964 diubah
menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Isinya
diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta
mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Tujuannya adalah untuk membentuk
manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Kurikulum
1968 bersifat correlated subject
curriculum, artinya materi pelajaran pada tingkat bawah memiliki korelasi
dengan kurikulum sekolah lanjutan.
Tujuh
tahun kemudian, muncul Kurikulum 1975,
sebagai pengganti kurikulum 1968. Isinya lebih menekankan pada tujuan agar
pendidikan lebih efektif dan efisien. Metode, materi, dan tujuan pengajaran di
dalam Kurikulum 1975 dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional
(PPSI). Pada masa pemberlakuan Kurikulum 1975 ini dikenal istilah “satuan
pelajaran”, yaitu rencana pelajaran pada setiap satuan bahasan; lalu setiap
satuan pelajaran dirinci lagi menjadi Tujuan Instruksional Umum (TIU), Tujuan
Instruksional Khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan
belajar-mengajar, dan evaluasi. Kelemahan kurikulum ini membuat guru sibuk
menulis rincian yang akan dicapai dalam
setiap kegiatan pembelajaran.
Kurikulum 1975 yang dilaksanakan
secara nasional pada tahun 1976 hanya bertahan selama sembilan tahun; lalu
diganti dengan kurikulum 1984, yang mengusung process skill approach. Kurikulum ini mengutamakan pendekatan
proses, namun faktor tujuan tetap diberi porsi. Kurikulum ini sering juga disebut
“Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa pada kurikulum ini ditempatkan
sebagai subjek belajar; mulai dari mengamati
sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan hasilnya kepada guru.
Model pembelajaran seperti ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaarning (SAL). Namun
dalam implementasinya di lapangan, konsep CBSA hanya elok secara teoritis dan
bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, tapi mengalami banyak deviasi
dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Itu terjadi karena banyak sekolah dan
guru tidak mampu menafsirkan dan menerapkan CBSA dengan baik.
Kurikulum
1984 yang lahir karena adanya perkembangan baru dalam masyarakat juga tidak
bertahan lama, karena sepuluh tahun kemudian diganti dengan Kurikulum 1994 dan
Suplemennya (1999). Kurikulum 1994 lahir sebagai upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya.
Jiwanya ingin mengkombinasikan isi Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984. Isinya
dibagi dua, yaitu 80 persen muatan nasional dan 20 persen muatan lokal. Muatan
nasional (80 persen) bersifat esensial/inti, sehingga memberi peluang kepada
daerah untuk menjabarkan dan menyesuaikan sesuai dengan lingkungan dan
kebutuhan masyarakat setempat. Sedangkan isi kurikulum muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Kejatuhan
rezim Soeharto tahun 1998 diikuti dengan kehadiran suplemen Kurikulum 1994 pada
tahun1999 berupa pengurangan, pemindahan, penambahan dan penghilangan sejumlah
materi. Beban belajar siswa terlalu berat, dan ujian sering dilaksanakan melalui sistem catur
wulan, dan kurang relevan dengan
kehidupan sehari-hari merupakan kelemahan kurikulum 1994.
Beban
belajar siswa yang terlalu berat dan materi pelajaran yang terlalu sukar membuat
Kurikulum 1994 hanya bertahan selama sepuluh tahun, lalu diganti dengan
Kurikulum 2004. Kurikulum 1994 disempurnakan akibat
konsekuensi logis dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah, dan sebagai respons dari era sentralisasi ke
desentralistik, sehingga lahirlah Kurikulum 2004, yang populer dengan sebutan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Karakterisitik KBK menekankan pada
pencapaian kompetensi siswa, bukan pada tuntasnya materi. Karakteristik lainnya
adalah mendorong siswa belajar mengetahui (learning how to know), belajar
melakukan (learning how to do), belajar
menjadi diri sendiri (learning how to be), dan belajar hidup dalam keberagaman
(learning how to live together). Kurikulum ini menitikberatkan pada
pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) siswa, baik secara individual
maupun klasikal; berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman; penyampaian dalam pembelajaran
menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; dan menggunakan sumber
belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi
unsur edukatif. Kelemahannya, relatif banyak guru yang tidak paham tentang
kompetensi yang diinginkan oleh kurikulum.
Berbagai masukan dan sumbang saran perbaikan, dan
sejumlah kelemahan di antaranya masih kurangnya SDM potensial untuk menjabarkan
KBK mengakibatkan KBK hanya bertahan selama dua tahun, lalu diganti dengan
kurikulum 2006, yang dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), yang merupakan perbaikan dari KBK. Esensi isi dan arah
pengembangan pembelajarannya masih bercirikan tercapainya paket-paket
kompetensi, bukan pada tuntas tidaknya
sebuah subject matter. Sekolah diberi
kewenangan penuh menyusun KTSP dengan
mengacu pada standar-standar yang ditetapkan. Dengan kata lain, KTSP merupakan kurikulum
yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan. Perangkat
pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian diberi kewenangan kepada
satuan pendidikan (sekolah) dibawa koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
untuk menyusun atau mengembangkannya.
Kurangnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP dan banyaknya guru
yang belum memahami KTSP secara komprehensif mengakibatkan KTSP hanya mampu
bertahan selama tujuh tahun. Penggantinya adalah Kurikulum 2013. Ciri Kurikulum
2013 yang paling mendasar adalah menuntut kemapuan guru agar memiliki pengetahuan
dan mencari tahu pengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa zaman sekarang
dengan adanya perkembangan teknologi dan informasi lebih banyak mengetahui
dibanding guru yang tidak inovatif dan tidak kreatif. Siswa di dalam Kurikulum
2013 didorong agar mememiliki tanggung jawab kepada lingkungan, memiliki kemampuan
interpersonal, antarpersonal, dan diharapkan memiliki kemampuan berpikir
kritis. Tujuannya adalah untuk terbentuknya generasi produktif, kreatif,
inovatif, dan afektif. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Ir. Muhammad Nuh, DEA menegaskan bahwa kurikukulum
2013 lebih ditekankan pada kompetensi,
yaitu kompetensi berbasis sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Juga dikatakan oleh Muhammad Nuh bahwa kurikulum 2013 untuk tingkat SD
dilakukan melalui pendekatan tematik integrative, dengan cara memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengenal dan memahami suatu tema dalam berbagai
mata pelajaran. Terdapat empat aspek dalam implementasi dan keterlaksanaan
kurikulum 2013, yaitu kompetensi profesional guru dalam pemahaman substansi bahan ajar, kompetensi
akademik guru dalam menguasai metode
penyampaian mata pelajaran kepada siswa, kompetensi sosial supaya guru tidak
bertindak asosial kepada siswa, dan kompetensi manajerial atau kepemimpinan, karena sikap dan tindakan seorang guru akan
digugu dan ditiru siswa.
Kurikulum 2013 bersifat integratif. Walaupun masih
sulit dinilai kelemahannya karena baru dilaksanakan, namun sejumlah sumbang saran yang menunjukkan
kelemahannya mengakibatkan Kurikulum 2013 ini nampaknya mengalami nasib yang sama
dengan Kurikulum 1975 yang tertunda pelaksanaannya secara nasional. Berbagai
hambatan di lapangan membuat Kurikulum 2013
belum dapat dilaksanakan secara nasional; sehingga yang melaksanakan
pada tahun 2013 ini hanya sekolah yang dinilai mampu menerapkannya.
Apa pun bentuk kurikulum dan
perubahannya, kurikulum yang sesungguhnya adalah guru. Setiap kurikulum pasti
memiliki keuanggulan dan kelemahannya sendiri-sendiri, namun kurikulum
yang baik dan unggul adalah guru yang
mandiri, inovatif dan kreatif.***
Penulis,
S. Montori.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar