Jumat, 21 Juni 2013

MAHASISWA, DEMOKRASI DAN DEMONSTRASI

-->
MAHASISWA, DEMOKRASI DAN DEMONSTRASI
OLEH: SOLEMAN MONTORI

                Menyandang predikat sebagai mahasiswa sungguh berbeda dengan siswa. Dapat dikatakan bahwa mahasiswa adalah mahanya siswa, artinya tingkat intelektualnya lebih tinggi dari siswa. Dunia siswa adalah masa  yang dipenuhi ketidakmandirian, egoisme, kekhawatiran dan cita-cita hidup yang ukurannya  pada materi dan hal yang pragmatis. Sedangkan dunia mahasiswa butuh kemandirian bertanggung jawab dalam berpikir dan bertindak; penuh pilihan dan pertarungan untuk pembentukan jati diri;  yang harus diwujudnyatakan dengan spirit intelektualisme dan karya nyata.
                Sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah pemuda (mahasiswa). Sejarah mencatat  sejumlah peran penting  mahasiswa, baik dalam proses menuju maupun pasca terbentuknya negara kesatuan republik Indonesia seperti pembentukan nasionalisme Indonesia melalui Sumpah Pemuda (Youth Pledge) 1928, mendorong Soekarno-Hatta untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan menjadi 17 Agustus 1945, peralihan orde lama ke orde baru  yang menghantar Soeharto resmi menjadi presiden pada tahun 1968, dan peralihan dari orde baru ke era reformasi pada tahun 1998.
Mahasiswa adalah kelompok minoritas terdidik, karena hanya 5 % dari jumlah pemuda. Para aktivis mahasiswa juga termasuk kelompok minoritas dalam populasi mahasiswa.  Walaupun minoritas, namun mahasiswa memiliki banyak kekuatan di dalam dirinya, antara lain kekuatan moral (moral force), kekuatan ide (power of idea) dan kekuatan nalar (power of reason). Dengan sejumlah kekuatan yang dimiliki, mahasiswa harus mampu melihat jauh ke depan dan memikirkan apa yang belum dipikirkan oleh masyarakat awam.
                Eksistensi mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dan mengusik ketenangan masyarakat. Idealisme  mahasiswa yang diyakini sebagai suatu kebenaran murni hendaknya tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang dapat menggeser makna kebenaran itu sendiri. Perubahan yang disuarakan dan diperjuangkan hendaknya tidak hanya  sekedar perubahan-perubahan marginal, tetapi perubahan yang bertanggung jawab dan untuk kepentingan semua.
                Berdasarkan background kesejarahan, seorang mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan maupun yang menjadi aktivis sepatutnya meneladankan diri  sebagai sosok yang bermoral, beretika dan bertanggung jawab. Organisasi kemahasiswaan dan aktivis yang terhimpun di dalamnya memang tidak pernah tunggal dan tidak terpolarisasi berdasarkan keyakinan ideologisnya masing-masing. Karena tiap-tiap kelompok memiliki sikap, pandangan, pemahaman, dan penilaian yang berbeda-beda dalam memandang dan menyikapi sejumlah permasalahan. Mereka juga berbeda dalam cita-cita tentang bentuk masyarakat ideal. Namun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa organisasi-organisasi kemahasiswaan berperan besar sebagai agent of change dan agent of social control bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
                Banyak cara yang perlu dilakukan oleh mahasiswa sebagai kaum intelektual untuk melakukan perubahan dan kontrol sosial. Namun yang sering dipilih adalah demonstrasi yang bersifat babar dan anarkis. Padahal sesungguhnya demonstrasi adalah hak demokrasi yang dapat dilaksanakan dengan tertib, damai, dan intelek.
Pengertian demonstrasi secara umum ada dua. Pertama, demonstrasi merupakan sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar, yang dipublikasikan dalam bentuk pengerahan masa. Kedua, demonstrasi merupakan sebuah sarana atau alat yang terkait dengan tujuan dan cara penggunaan sarana atau alat tersebut. Misalnya demonstrasi alat-alat rumah tangga oleh penjual kepada pembeli.
Di dunia pendidikan, demonstrasi merupakan salah satu metode dalam kegiatan belajar mengajar. Jadi, tujuan demonstrasi sesungguhnya adalah baik; namun dalam praktiknya, demonstrasi bisa bernilai positif, dan bisa juga bernilai negatif. Demonstrasi merupakan hal yang positif dan memiliki nilai di mata masyarakat jika menjunjung tinggi demokrasi. Namun  demonstrasi bernilai negatif jika mengabaikan demokrasi. Demonstrasi adalah salah satu sarana dalam membangun demokrasi. Karena itu, demonstrasi merupakan hal yang tercela dan  merugikan kepentingan publik jika dilakukan dengan cara tidak bermoral dan tidak bertanggung jawab.
Para aktivis mahasiswa perlu memiliki kesadaran intelektual yang tinggi bahwa demonstrasi yang disertai unsur kekerasan dan pemaksaan kehendak akan mudah tergelincir dalam domain politik praktis yang kurang sejalan dengan hakikat Tri Dharma perguruan tinggi. Demonstrasi sebagai salah satu cara dari sekian banyak cara untuk menyampaikan aspirasi atau pendapat,  perlu selalu dijaga dan dipelihara agar tidak berubah atau membias  dari tujuannya. Merupakan tugas aktivis mahasiswa yang melakukan demonstrasi agar tujuan demonstrasi tetap fokus dan berlangsung sesuai norma demokrasi yang ingin ditegakkan.

                Perlu disadari oleh organisasi kemahasiswaan bahwa sejak awal reformasi, aktivis mahasiswa semakin sulit dikendalikan karena sepertinya ada doktrinasi yang bersifat merusak. Hal ini dapat dilihat dari ciri demontrasi yang paling dominan dilakukan adalah non koperatif atau kekerasan, sedangkan demontrasi dengan cara persuasif atau damai yang berbentuk petisi atau slogan dianggap tidak terlalu bergaung dan  lama direspons; demikian pula halnya dengan demonstrasi yang bersifat intervensi tanpa kekerasan  seperti mogok, membuat peraturan atau lembaga tandingan juga dianggap kurang menarik.
Dalam kurung waktu 3 tahun terakhir menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, Prof Dr Kacung Marijan, Indonesia menduduki peringkat pertama dari 113 negara dalam demonstrasi  yang dilakukan oleh mahasiswa. “Masa orientasi mahasiswa baru sebagai wadah untuk memberikan hal positif ataukah negatif? Hal ini harus dikaji lebih dalam untuk meredam kekerasan mahasiswa,” ujarnya prihatin.
Akhir-akhir ini demonstrasi  cukup unik dan aneh. Aspirasi disampaikan dengan  cara tidak santun dan  keras, sehingga memicu mahasiswa lain dalam satu almamater mengikuti irama,  begitupun mahasiswa di daerah lain terimbas dengan cara yang tidak patut dan tidak terpuji. Demonstrasi satu dua kali itu normal, tapi kalau demonstrasi yang dilakukan sampai hitungan bulan apalagi di dalam kampus ditemui sajam, miras dan narkoba, itu sangat sangat abnormal. Mungkinkah ini akibat kegiatan yang bersifat positif untuk mahasiswa tidak jalan? Mungkinkah karena kegagalan manajemen pembantu rektor bidang kemahasiswaan? Ataukah terjadi kegagalan kurikulum pendidikan pada perguruan tinggi tertentu? 
Jika dicermati ada tiga yang kerap diberdayakan oleh aktivis mahasiswa yang gemar berdemonstrasi, yaitu 3E: Etnis, Elite dan Egosentris, yang dianggap oleh sebagian aktivis mahasiswa sebagai bahan heroik ketika berdemonstrasi dan berorasi. Sikap sombong yang disertai pemaksaan kehendak dinyatakan dengan menganggap bahwa aspirasi dan pendapat mereka yang paling benar.
                        Sekarang sudah bukan zamannya lagi mahasiswa berteriak-teriak secara lantang  meminta kebijakkan dibijakkan. Demonstrasi yang dilakukan sekarang tidak ada bedanya dengan demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa pada masa pergerakan sebelum kemerdekaan. Mahasiswa pada masa sebelum kemerdekaan pada awalnya berjuang dengan bambu runcing dan kekerasan, tapi gagal; lalu mereka menyadarinya, kemudian mereka berjuang dengan cara yang lebih terpelajar, dengan pikiran dan politik yang terstruktur rapi. Mereka mengekspresikan suara hati melalui tulisan dan karya yang menakjubkan. Mereka juga mengadakan kongres yang damai, yang membuahkan hasil signifikan seperti sumpah pemuda. Itulah masa kebangkitan nasional. Ketidakbangkitan mahasiswa Indonesia waktu itu dari keterpurukan kebodohan dan kemiskinan ilmu, karena perguruan tinggi waktu itu tidak sebanyak di era yang transparan dan demokratis ini; lalu kenapa sekarang saat perguruan tinggi hampir ada di seluruh wilayah nusantara, mahasiswa tidak cerdas? Malah ingin kembali meniru cara-cara perjuangan yang menggunakan bambu runcing, batu, bom, pedang serta cara biadab dan cara bodoh lainnya.
Harusnya mahasiswa dalam mengusung aspirasi dan menyampaikan pendapat mengembangkan budaya berpikir yang konstruktif. Memberi solusi dan jalan keluar, bukan jalan buntu. Misalnya dalam melakukan demonstrasi menolak korupsi,  mahasiswa harus melakukannya secara cerdas dan ilmiah, juga perlu memikirkan bagaimana caranya agar aksi demosntrasi memiliki arti, mengena sasaran dan dapat memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Jadi, yang penting bukan asal demonstrasi yang ramai dan penuh amarah, tetapi yang utama proteslah kebijakan yang kurang bijak dengan santun, beretika dan bertanggung jawab, tidak mengganggu atau merusak fasilitas pemerintah dan kepentingan umum.
Jika dalam aksi demonstrasi ada mobil dan motor dibakar, fasilitas umum dirusak, ada aparat keamanan dan mahasiswa yang terluka, ada masyarakat yang  jadi korban, ada kantor yang dibakar; hal ini menunjukkan bahwa citra para demonstran telah kehilangan jiwanya dalam mengeluarkan aspirasi. Sebab semua kerugian yang dialami baik material maupun non material akan diganti atau dibiayai oleh uang yang bersumber dari pajak yang dibayar oleh rakyat.

Bagaimana caranya melakukan demonstrasi yang benar dan santun. Pertama, aktivis  mahasiswa harus mengetahui bahwa demonstrasi yang disampaikan memiliki nilai tambah, sehingga orang lain yang menjadi tujuan demonstrasi menerima dan memahami apa yang disampaikan.
Kedua,  memperhatikan keamanan dan keleluasaan orang lain, yang mungkin berlalu lalang di lokasi demonstrasi. Jangan sampai kebebasan yang diberikan oleh sistem demokrasi saat ini malah mengancam kebebasan orang lain. Jika ini terus terjadi, itu sama artinya pendemo merusak tatanan demokrasi yang ingin dibangun di negeri ini. Hindari kelakuan yang dapat membuat publik atau masyarakat umum sakit hati, sehingga menjadi antipati terhadap kegiatan demonstrasi. Jika hal seperti ini yang terjadi, demonstrasi yang  bertujuan untuk mendapat simpati dan dukungan publik, malah yang terjadi sebaliknya, yaitu aksi demonstran  yang disertai orasi akan menjadi  common enemy atau musuh bersama.
Ketiga,  sampaikanlah orasi dengan baik. Bisa dengan suara keras, tetapi tidak dalam kalimat caci maki, juga tidak dengan wajah garang  dan  beringas. Ingatlah bahwa mahasiswa sebagai calon intelektual dididik untuk melakukan sesuatu, termasuk dalam berdemonstrasi, harus mengandalkan  pikiran yang sehat ketimbang emosi yang liar. Misalnya dengan cara bernyanyi atau meneriakkan yel-yel yang sehat dan bermartabat. Aksi demonstrasi dan orasi harus dihentikan ketika pendapat atau aspirasi sudah disampaikan. Hal ini merupakan tugas dan kewajiban koordinator lapangan (korlap)  untuk menertibkan dan mengingatkannya.
Jika semua materi orasi selesai disampaikan, sangat simpatik bila bersalam-salaman, kalau perlu berpelukan dengan teman-teman atau dengan petugas keamanan (polisi) yang bertugas. Polisi bukan musuh. Polisi bertugas sesuai dengan protap yang telah ditetapkan. Percayalah, jika materi orasi yang anda sampaikan  benar, masuk akal dan bermutu, apalagi bermanfaat bagi rakyat banyak, pasti pikiran dan hati  petugas keamanan akan berpihak kepada anda.
Mengapa istilah demonstrasi sekarang ini seakan-akan dimonopoli oleh gerakan turun ke jalan? Jawabannya, karena demonstrasi sekarang ini merupakan bawaan masa lalu setelah peristiwa tahun 1966, yaitu sejak jatuhnya orde lama dan dimulainya orde baru. Saking terkenalnya peristiwa itu yang dimotori oleh para mahasiswa dengan cara turun ke jalan, sampai sekarang ini istilah demo digunakan sebagai pengganti kata demonstrasi. Sehingga, kalau sekarang orang menyebut demo, maka secara otomatis di benak kita tergambar bahwa para mahasiswa akan turun ke jalan. Kemudian istilah demo yang dipersepsikan turun ke jalan diartikan sebagai unjuk rasa, namun yang sering terjadi adalah salah unjuk (misstate) yang shamelessly.
Unjuk rasa dalam arti yang sebenarnya (baik denotatif maupun konotatif) sebenarnya tidak tepat digunakan oleh para aktivis mahasiswa yang tingkat intelektualnya cukup tinggi tersebut. Seharusnya yang tepat adalah unjuk pikir, karena yang disampaikan ketika mahasiswa berorasi tidak  hanya apa yang dirasakan, tetapi merupakan buah pikiran. Karena itu, sebelum mahasiswa berdemo harus menyiapkan konsep yang berisi masalah dan pemecahannya, dan hanya bisa disuarakan atau konsepnya  diserahkan kepada pihak yang menjadi tujuan demo, namun bukan dipaksakan.
Untuk membuat perubahan ke arah yang baik terlalu banyak 1001 orang yang tidak memiliki pengaruh. Cukup dibutuhkan satu orang yang memiliki 3 V, yaitu visi, voice dan value. Apa yang dilakukannya pasti akan memperoleh victory. Secara matematik dapat ditulis Visi + Voice + Value = Victory atau V + V + V = V. Soekarno mengatakan beri saya 10 pemuda, saya akan guncang dunia. Apakah sudah terwujud. Jawabannya belum! Jangankan 10 pemuda, 1 saja belum ada pemuda (mahasiswa) yang memiliki visi, voice dan value untuk membawa perubahan bagi bangsa Indonesia.
Barack Hussein Obama yang berkulit hitam diragukan banyak orang bisa menjadi presiden Amerika; Dr. Manmohan Singh beragama Sikhisme sebagai agama minoritas yang menurut banyak orang tidak mungkin menjadi perdana menteri India. Namun, Obama bisa menjadi presiden dan Manmohan Singh bisa menjadi perdana menteri karena keduanya memiliki visi yang jelas, memiliki suara (voice) prophet  dan memiliki value yang memberi nilai tambah dan nilai guna, karena kaduanya menyakini bahwa hidup tanpa nilai (valueless) ibarat garam yang tawar dan cahaya yang redup. Sol***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar