-->
MAHASISWA,
DEMOKRASI DAN DEMONSTRASI
OLEH: SOLEMAN MONTORI
Menyandang
predikat sebagai mahasiswa sungguh berbeda
dengan siswa. Dapat dikatakan bahwa mahasiswa adalah mahanya siswa, artinya tingkat
intelektualnya lebih tinggi dari siswa. Dunia siswa adalah masa yang dipenuhi ketidakmandirian, egoisme, kekhawatiran dan cita-cita
hidup yang ukurannya pada materi dan hal yang pragmatis. Sedangkan
dunia mahasiswa butuh kemandirian bertanggung jawab
dalam berpikir dan bertindak; penuh pilihan dan pertarungan
untuk pembentukan jati diri; yang harus diwujudnyatakan
dengan spirit intelektualisme dan karya nyata.
Sejarah
bangsa Indonesia adalah sejarah pemuda (mahasiswa). Sejarah
mencatat sejumlah peran penting mahasiswa,
baik dalam proses menuju maupun pasca terbentuknya negara kesatuan republik Indonesia seperti pembentukan nasionalisme Indonesia melalui
Sumpah Pemuda (Youth Pledge)
1928, mendorong Soekarno-Hatta untuk mempercepat
proklamasi kemerdekaan menjadi 17 Agustus 1945, peralihan orde lama ke orde
baru yang menghantar Soeharto resmi menjadi presiden pada tahun 1968,
dan peralihan dari orde baru ke era reformasi pada tahun 1998.
Mahasiswa adalah kelompok minoritas terdidik, karena hanya 5 % dari jumlah pemuda. Para
aktivis mahasiswa juga termasuk kelompok minoritas dalam populasi mahasiswa. Walaupun minoritas, namun mahasiswa
memiliki banyak kekuatan di dalam dirinya, antara lain kekuatan
moral (moral force), kekuatan ide (power of idea) dan kekuatan nalar (power of reason). Dengan sejumlah kekuatan yang
dimiliki, mahasiswa harus mampu melihat jauh ke depan
dan memikirkan apa yang belum dipikirkan oleh masyarakat awam.
Eksistensi mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan
masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dan mengusik ketenangan
masyarakat. Idealisme mahasiswa yang
diyakini sebagai suatu kebenaran murni hendaknya tidak dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal yang dapat menggeser makna kebenaran itu sendiri.
Perubahan yang disuarakan dan diperjuangkan hendaknya tidak hanya sekedar perubahan-perubahan marginal, tetapi
perubahan yang bertanggung jawab dan untuk kepentingan semua.
Berdasarkan background kesejarahan, seorang
mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan maupun yang menjadi aktivis sepatutnya meneladankan diri sebagai sosok yang bermoral, beretika dan
bertanggung jawab. Organisasi kemahasiswaan dan aktivis yang terhimpun di
dalamnya memang tidak pernah tunggal dan tidak terpolarisasi berdasarkan keyakinan ideologisnya masing-masing. Karena tiap-tiap kelompok memiliki sikap, pandangan, pemahaman, dan
penilaian yang berbeda-beda dalam memandang dan menyikapi sejumlah permasalahan. Mereka juga berbeda dalam cita-cita tentang
bentuk masyarakat ideal. Namun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa
organisasi-organisasi kemahasiswaan berperan besar sebagai agent of change dan agent of
social control bagi kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa.
Banyak cara yang perlu
dilakukan oleh mahasiswa sebagai kaum intelektual untuk melakukan perubahan dan
kontrol sosial. Namun yang sering dipilih adalah demonstrasi yang bersifat
babar dan anarkis. Padahal sesungguhnya demonstrasi adalah hak demokrasi yang dapat
dilaksanakan dengan tertib, damai, dan intelek.
Pengertian demonstrasi secara umum ada dua. Pertama,
demonstrasi merupakan sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide
yang dianggap benar, yang dipublikasikan dalam bentuk pengerahan masa. Kedua,
demonstrasi merupakan sebuah sarana atau alat yang terkait dengan tujuan dan
cara penggunaan sarana atau alat tersebut. Misalnya demonstrasi alat-alat rumah
tangga oleh penjual kepada pembeli.
Di dunia pendidikan, demonstrasi merupakan salah
satu metode dalam kegiatan belajar mengajar. Jadi, tujuan demonstrasi
sesungguhnya adalah baik; namun dalam praktiknya, demonstrasi bisa bernilai
positif, dan bisa juga bernilai negatif. Demonstrasi merupakan hal yang positif
dan memiliki nilai di mata masyarakat jika menjunjung tinggi demokrasi.
Namun demonstrasi bernilai negatif jika mengabaikan
demokrasi. Demonstrasi adalah salah satu sarana dalam membangun demokrasi. Karena
itu, demonstrasi merupakan hal yang tercela dan merugikan kepentingan publik jika dilakukan
dengan cara tidak bermoral dan tidak bertanggung jawab.
Para aktivis mahasiswa perlu memiliki kesadaran intelektual
yang tinggi bahwa demonstrasi yang disertai unsur kekerasan dan pemaksaan
kehendak akan mudah tergelincir dalam domain politik praktis yang kurang
sejalan dengan hakikat Tri Dharma perguruan tinggi. Demonstrasi sebagai salah satu
cara dari sekian banyak cara untuk menyampaikan aspirasi atau pendapat, perlu selalu dijaga dan dipelihara agar tidak
berubah atau membias dari tujuannya. Merupakan
tugas aktivis mahasiswa yang melakukan demonstrasi agar tujuan demonstrasi
tetap fokus dan berlangsung sesuai norma demokrasi yang ingin ditegakkan.
Perlu disadari oleh
organisasi kemahasiswaan bahwa sejak awal reformasi, aktivis mahasiswa semakin
sulit dikendalikan karena sepertinya ada doktrinasi yang bersifat merusak. Hal
ini dapat dilihat dari ciri demontrasi yang paling dominan dilakukan adalah non
koperatif atau kekerasan, sedangkan demontrasi dengan cara persuasif atau damai
yang berbentuk petisi atau slogan dianggap tidak terlalu bergaung dan lama direspons; demikian pula halnya dengan
demonstrasi yang bersifat intervensi tanpa kekerasan seperti mogok, membuat peraturan atau lembaga
tandingan juga dianggap kurang menarik.
Dalam kurung waktu 3 tahun terakhir menurut Guru Besar Ilmu Politik
Universitas Airlangga Surabaya, Prof Dr Kacung Marijan, Indonesia menduduki
peringkat pertama dari 113 negara dalam demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa. “Masa
orientasi mahasiswa baru sebagai wadah untuk memberikan hal positif ataukah
negatif? Hal ini harus dikaji lebih dalam untuk meredam kekerasan mahasiswa,” ujarnya
prihatin.
Akhir-akhir ini demonstrasi cukup
unik dan aneh. Aspirasi disampaikan dengan cara tidak santun dan keras, sehingga memicu mahasiswa lain dalam
satu almamater mengikuti irama, begitupun mahasiswa di daerah lain terimbas
dengan cara yang tidak patut dan tidak terpuji. Demonstrasi satu dua kali itu
normal, tapi kalau demonstrasi yang dilakukan sampai hitungan bulan apalagi di
dalam kampus ditemui sajam, miras dan narkoba, itu sangat sangat abnormal. Mungkinkah
ini akibat kegiatan yang bersifat positif untuk mahasiswa tidak jalan? Mungkinkah
karena kegagalan manajemen pembantu rektor bidang kemahasiswaan? Ataukah
terjadi kegagalan kurikulum pendidikan pada perguruan tinggi tertentu?
Jika dicermati ada tiga yang kerap diberdayakan oleh aktivis mahasiswa yang
gemar berdemonstrasi, yaitu 3E:
Etnis, Elite dan Egosentris, yang dianggap oleh sebagian aktivis mahasiswa
sebagai bahan heroik ketika berdemonstrasi dan berorasi. Sikap sombong yang
disertai pemaksaan kehendak dinyatakan dengan menganggap bahwa aspirasi dan
pendapat mereka yang paling benar.
Sekarang sudah bukan
zamannya lagi mahasiswa berteriak-teriak secara lantang meminta kebijakkan dibijakkan. Demonstrasi
yang dilakukan sekarang tidak ada bedanya dengan demonstrasi yang dilakukan
oleh mahasiswa pada masa pergerakan sebelum kemerdekaan. Mahasiswa pada masa
sebelum kemerdekaan pada awalnya berjuang dengan bambu runcing dan kekerasan, tapi
gagal; lalu mereka menyadarinya, kemudian mereka berjuang dengan cara yang
lebih terpelajar, dengan pikiran dan politik yang terstruktur rapi. Mereka
mengekspresikan suara hati melalui tulisan dan karya yang menakjubkan. Mereka
juga mengadakan kongres yang damai, yang membuahkan hasil signifikan seperti
sumpah pemuda. Itulah masa kebangkitan nasional. Ketidakbangkitan
mahasiswa Indonesia waktu itu dari keterpurukan kebodohan dan kemiskinan ilmu, karena
perguruan tinggi waktu itu tidak sebanyak di era yang transparan dan demokratis
ini; lalu kenapa sekarang saat perguruan tinggi hampir ada di seluruh wilayah
nusantara, mahasiswa tidak cerdas? Malah ingin kembali meniru cara-cara perjuangan
yang menggunakan bambu runcing, batu, bom, pedang serta cara biadab dan cara
bodoh lainnya.
Harusnya mahasiswa dalam mengusung aspirasi dan
menyampaikan pendapat mengembangkan budaya berpikir yang konstruktif. Memberi
solusi dan jalan keluar, bukan jalan buntu. Misalnya dalam melakukan
demonstrasi menolak korupsi, mahasiswa
harus melakukannya secara cerdas dan ilmiah, juga perlu memikirkan bagaimana
caranya agar aksi demosntrasi memiliki arti, mengena sasaran dan dapat
memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Jadi, yang penting bukan asal
demonstrasi yang ramai dan penuh amarah, tetapi yang utama proteslah kebijakan
yang kurang bijak dengan santun, beretika dan bertanggung jawab, tidak
mengganggu atau merusak fasilitas pemerintah dan kepentingan umum.
Jika dalam aksi demonstrasi ada mobil dan motor
dibakar, fasilitas umum dirusak, ada aparat keamanan dan mahasiswa yang
terluka, ada masyarakat yang jadi
korban, ada kantor yang dibakar; hal ini menunjukkan bahwa citra para
demonstran telah kehilangan jiwanya dalam mengeluarkan
aspirasi. Sebab semua kerugian yang dialami baik
material maupun non material akan diganti atau dibiayai oleh uang yang
bersumber dari pajak yang dibayar oleh rakyat.
Bagaimana
caranya melakukan demonstrasi yang benar dan santun. Pertama, aktivis mahasiswa
harus mengetahui
bahwa demonstrasi yang disampaikan memiliki nilai tambah, sehingga orang lain yang
menjadi tujuan demonstrasi menerima dan memahami apa
yang disampaikan.
Kedua, memperhatikan keamanan dan
keleluasaan orang lain, yang mungkin berlalu lalang di lokasi demonstrasi. Jangan
sampai kebebasan yang diberikan oleh sistem demokrasi saat ini malah mengancam
kebebasan orang lain. Jika ini terus terjadi, itu sama artinya pendemo merusak tatanan demokrasi
yang ingin dibangun di negeri ini. Hindari kelakuan yang dapat membuat publik
atau masyarakat umum sakit hati,
sehingga menjadi antipati terhadap kegiatan demonstrasi. Jika hal seperti ini yang terjadi, demonstrasi yang bertujuan untuk mendapat simpati dan dukungan publik, malah yang terjadi sebaliknya, yaitu aksi demonstran yang
disertai orasi akan menjadi common
enemy atau musuh bersama.
Ketiga, sampaikanlah orasi dengan baik. Bisa dengan suara keras,
tetapi tidak dalam kalimat caci maki,
juga tidak dengan wajah garang dan beringas. Ingatlah bahwa mahasiswa sebagai calon intelektual dididik untuk melakukan
sesuatu, termasuk dalam berdemonstrasi, harus
mengandalkan pikiran yang sehat ketimbang
emosi yang liar. Misalnya dengan cara bernyanyi atau meneriakkan yel-yel yang sehat dan bermartabat. Aksi demonstrasi dan orasi harus dihentikan ketika
pendapat atau aspirasi sudah disampaikan. Hal ini merupakan tugas dan kewajiban
koordinator lapangan (korlap) untuk menertibkan
dan mengingatkannya.
Jika semua
materi orasi selesai disampaikan, sangat simpatik bila bersalam-salaman, kalau perlu berpelukan
dengan teman-teman atau dengan
petugas keamanan (polisi) yang bertugas. Polisi bukan musuh. Polisi bertugas sesuai dengan protap yang telah
ditetapkan. Percayalah, jika materi orasi
yang anda sampaikan
benar, masuk akal dan bermutu, apalagi bermanfaat bagi rakyat banyak, pasti pikiran dan hati petugas
keamanan akan berpihak kepada anda.
Mengapa istilah demonstrasi sekarang ini seakan-akan dimonopoli oleh gerakan turun ke jalan? Jawabannya, karena demonstrasi sekarang ini merupakan
bawaan masa lalu setelah peristiwa tahun 1966, yaitu sejak jatuhnya orde
lama dan dimulainya orde baru. Saking terkenalnya peristiwa itu yang dimotori
oleh para mahasiswa dengan cara turun ke jalan, sampai sekarang ini istilah demo digunakan sebagai pengganti kata demonstrasi.
Sehingga, kalau sekarang orang menyebut demo, maka secara otomatis di benak
kita tergambar bahwa para mahasiswa akan turun ke jalan. Kemudian istilah demo yang
dipersepsikan turun ke jalan diartikan sebagai unjuk rasa, namun yang sering
terjadi adalah salah unjuk (misstate)
yang shamelessly.
Unjuk rasa dalam
arti yang sebenarnya (baik denotatif maupun konotatif) sebenarnya tidak tepat digunakan oleh para aktivis mahasiswa yang tingkat intelektualnya cukup
tinggi tersebut. Seharusnya yang tepat adalah unjuk pikir, karena yang disampaikan
ketika mahasiswa berorasi tidak hanya apa yang
dirasakan, tetapi merupakan buah pikiran. Karena itu, sebelum mahasiswa berdemo harus menyiapkan konsep yang berisi masalah dan pemecahannya, dan hanya bisa disuarakan atau konsepnya diserahkan kepada pihak yang menjadi tujuan
demo, namun bukan dipaksakan.
Untuk membuat perubahan ke arah yang baik terlalu
banyak 1001 orang yang tidak memiliki pengaruh. Cukup dibutuhkan satu orang
yang memiliki 3 V, yaitu visi, voice dan value. Apa yang dilakukannya pasti
akan memperoleh victory. Secara matematik dapat ditulis Visi + Voice + Value =
Victory atau V + V + V = V. Soekarno mengatakan beri saya 10 pemuda, saya akan
guncang dunia. Apakah sudah terwujud. Jawabannya belum! Jangankan 10 pemuda, 1
saja belum ada pemuda (mahasiswa) yang memiliki visi, voice dan value untuk
membawa perubahan bagi bangsa Indonesia.
Barack Hussein Obama yang berkulit hitam diragukan
banyak orang bisa menjadi presiden Amerika; Dr. Manmohan Singh beragama Sikhisme
sebagai agama minoritas yang menurut banyak orang tidak mungkin menjadi perdana
menteri India. Namun, Obama bisa menjadi presiden dan Manmohan Singh bisa
menjadi perdana menteri karena keduanya memiliki visi yang jelas, memiliki suara
(voice) prophet dan memiliki value yang memberi nilai tambah dan
nilai guna, karena kaduanya menyakini bahwa hidup tanpa nilai (valueless) ibarat garam yang tawar dan cahaya
yang redup. Sol***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar