(Refleksi hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2013 )
Oleh Soleman Montori
Guru adalah pencerah dan penceramah sepanjang zaman.
Didikan, integritas dan citra guru
adalah undang-undang bagi siswa. Siswa yang dibesarkan dengan kata-kata santun dan pendidikan yang
berkarakter akan bertumbuh sehat dalam berpikir; dan akan melahirkan siswa yang kata-katanya santun, sikapnya sopan dan
memiliki antusiasme untuk melakukan hal yang bermanfaat bagi kemanusiaan,
memiliki rasa hormat, mampu mengendalikan diri dan bertanggung jawab.
Kepribadian guru adalah cermin kebaikan bagi
siswa. Guru yang komunikatif, tegas, lucu, adil dan memiliki teladan yang baik
merupakan dambaan dan harapan setiap siswa. Potret diri guru seperti
inilah yang memberi kepercayaan dan rasa
hormat siswa kepada guru. Rasa hormat siswa kepada guru bukan sesuatu yang
terjadi dengan sendirinya, tapi merupakan proses yang harus dipelajari, dilatih
dan diajarkan oleh guru dengan cara yang ramah, penuh rasa hormat dan kasih
sayang.
Watak
baik guru memiliki nilai lebih tinggi daripada mata pelajaran yang
diajarkannya. Jika guru berdiri di depan siswa, lalu siswa segan dan menaruh
rasa hormat kepadanya, berarti siswa
mengerti dan akan mengamalkan pendidikan yang diajarkan oleh guru. Ini
adalah hal yang baik bagi guru untuk menanamkan pengaruh yang positif dalam
diri siswa.
Dari
sekian banyak tugas dan tanggung jawab guru, yang paling utama guru harus mampu
membangun keseimbangan dan perkembangan mental, fisikal dan spritual siswa
sehingga siswa bertumbuh dewasa secara intelektual, sosial, emosional, dan
spiritual. Dengan kata lain, tugas utama guru adalah membuat siswa dewasa dan
bertanggung jawab, terutama bertanggungjawab kepada dirinya sendiri.
Mengajarkan tanggung jawab kepada siswa tidak
mudah, karena siswa memiliki konsep sendiri untuk mencari pola hidup yang akan
ditempuhnya, dan kadangkala pola hidup yang ditempuh siswa bertentangan dengan
ajaran pendidikan, namun jika guru mampu mengajarkan tanggungjawab kepada siswa
yang disertai contoh-contoh praktis jauh lebih berhasil ketimbang dengan
kata-kata yang melimpah ruah. Mengenai hal ini, para ahli dalam setiap zaman
berulang-ulang menyampaikan bahwa tindakan yang nyata lebih nyaring suaranya
daripada perkataan melulu.
Pendidikan
tidak akan mencapai tujuannya bila guru tidak menginsafi bahwa begitu
pentingnya profesi guru. Dalam diri guru terletak tanggung jawab yang tiada
duanya. Guru harus mengerti keadaan siswa ketika bermasalah, dan harus tahu
bahwa siswa membutuhkan tiga hal dari sosok seorang guru, yaitu: kehangatan
komunikasi, tuntunan dan teladan.
Susana
belajar yang enjoy akan mendorong siswa “memikirkan hal-hal yang tidak bisa
menjadi bisa.” Juga akan membuat siswa terkait,
terikat, dan terlibat dalam
proses belajar; hasilnya akan lahir siswa yang berkualitas, pemikir yang
kritis, penulis yang analitis, dan SDM yang memiliki penghayatan tinggi bahwa
pengetahuan yang diterimanya dari guru sebagai suatu kekuatan mental untuk
menghadapi hidup.
Ada
kepuasan dalam mengajar yang tidak bisa dipenuhi dengan insentif atau gaji,
yaitu sentuhan dan ucapan guru, “Ayo kita selesaikan bersama soal ini.” Ucapan
ini pasti akan hidup dalam diri siswa. Bukankan ini juga disebut kualitas?
Dalam
keadaan siswa yang sulit dipahami dan dimengerti, guru harus tetap merupakan
guru yang baik. Membentuk siswa berpribadi tidak semudah dan secepat
mengeraskan tanah liat dengan api. Tapi butuh proses. Ada yang prosesnya cepat
dan ada yang lama. Kadangkala guru tidak langsung melihat hasil akhirnya.
Mungkin sekarang guru mengenal siswa A bodoh, tetapi suatu saat nanti guru akan
mengenal siswa A sebagai profesor. Mengapa demikian? Karena di dalam diri siswa
terdapat dua sisi cerdas. Satu bersifat akademis dan yang satunya lagi bersifat
non akademis. Keduanya hanya bisa dibedakan oleh guru pemenang (winners). Jika
guru dapat menerangi dua sisi cerdas ini, akan lahir siswa yang mampu melalukan
hal-hal menakjubkan.
Guru
memiliki tanggung jawab intelektual, sosial dan spiritual untuk melahirkan SDM yang memiliki kontibusi paling besar dalam
menentukan keunggulan suatu negara. Di
era yang hampir semuanya bergerak dengan cepat dan bersifat segera ini, dibutuhkan
sosok guru yang secara terus-menerus belajar dan terus belajar, antisipatif,
proaktif, memiliki pengetahuan dan keahlian yang kaya inovasi untuk
meningkatkan kompetensi SDM yang berkualitas. Finlandia dan Singapura adalah
dua negara yang miskin sumber daya alam (SDA), tetapi keduanya diperhitungkan
di pentas dunia karena SDM-nya kreatif dan kaya inovasi.
Guru yang sudah disertifikasi seharusnya
kreatif dan memiliki lompatan-lompatan inovasi dalam pembelajaran. Guru yang tidak kreatif dan enggan melakukan
lompatan-lompatan inovasi cenderung
memahami profesi guru secara konvensional, yaitu hanya sekedar mentransfer
pengetahuan kepada siswa. Tujuan pembelajaran untuk mendewasakan siswa secara
holistik kurang diperhatikan dan diabaikan. Ciri lainnya dari guru yang tidak kreatif
adalah gelisah terlalu lama berada di
sekolah dan bersikap apatis jika diajak berdiskusi tentang materi pelajaran; enggan
menggali dan menambah wawasan; malu bertanya kepada teman guru sejawat yang
memiliki kompetensi lebih.
Mengapa sebagian guru mampu
merespons tantangan perkembangan zaman, lalu guru yang lainnya tidak ? Mengapa
guru di negara yang dulunya belajar di negara kita mampu menawarkan alternatif
pemecahan masalah dan menjanjikan keunggulan, lalu guru kita tidak? Jawabannya
karena guru-guru di negara maju memiliki visi global dan telah siuman dari era
yang sebelumnya serba tertutup dan terbatas beralih ke era baru yang didukung dengan semangat kreativitas,
inovasi, komitmen mutu dan etos kerja yang tinggi; Sedangkan sebagian besar
guru di negara berkembang termasuk di negara kita masih diliputi oleh pandangan
yang kolot dan konservatif protektif, yaitu tidak kreatif, tidak inovatif, tidak
terbuka dan tidak objektif.
Tidak ada yang sulit jika
semangat kompetitif diberi napas kreativitas dan inovasi. Negara Asia Tenggara
seperti Singapura dan Malaysia telah membuktikannya. Mereka telah menyadari
bahwa memang tidak mudah bagi negara berkembang mengejar ketertinggalan
penguasaan IPTEK yang sudah dikuasai lebih dahulu oleh negara maju, tetapi jika
guru mampu menjadikan sekolah sebagai pusat riset, maka semua yang dicapai
terlebih dahulu oleh negara maju dapat diketahui dan dilampaui. Sedangkan bagi
negara kita, mayoritas guru masih cenderung memiliki mind set (pola pikir) minta diberdayakan ketimbang memberdayakan
diri, dan kurang fokus dalam mengajar karena terganggu pemenuhan kebutuhan yang
lain.
Guru yang memiliki kemandirian
dan semangat kompetitif atau persaingan yang bersahabat (friendly rivalry) memiliki tanggung jawab keilmuan yang tinggi.
Sedangkan guru yang tidak kompetitif tercermin dari cara mengajarnya yang
biasa-biasa saja; motivasi dan teknik bertanya kepada siswa tidak menimbulkan
semangat belajar atau kegairahan (antusiasme) kepada siswa.
Guru yang tidak kompetitif juga
dapat dilihat dari cara mengajukan pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan yang
diajukan cenderung tidak produktif. Umumnya kata yang digunakan dalam bertanya selalu
didahului dengan kata “apakah.” Akibatnya pertanyaan yang diajukan direspons
oleh siswa dengan jawaban tunggal dan suara kor (choir), sehingga suasana kelas jadi ribut, siswa bodoh dan pintar sulit
dibedakan. Jarang pertanyaan yang didahului dengan kata “bagaimana dan
mengapa”. Tidak banyak guru yang bertanya
bagaimana kalau manusia bisa terbang, yang
selalu ditanyakan adalah apakah manusia bisa terbang. Contoh pertanyaan
lainnya apakah bumi bulat; hanya
sedikit guru yang bertanya mengapa bumi bulat.
Pertanyaan-pertanyaan yang
selalu didahului dengan kata “apakah,”
apalagi ditanyakan kepada siswa SMP dan SMA/SMK, merupakan pertanyaan
yang tidak produktif, dan umumnya pertanyaan seperti ini berasal dari guru yang
tidak inovatif, tidak mandiri dan tidak kompetitif. Guru seperti ini adalah
guru yang tidak menginginkan lompatan-lompatan kemajuan; terlalu lamban (to slow) mengikuti perkembangan, selalu terlambat (to late) berpikir maju, dan terlalu sedikit (to little) mempersiapkan diri untuk mengajar; dengan kata lain,
guru yang tidak produktif memiliki kecenderungan untuk mengetahui atau
mempelajari sesuatu yang bermanfaat terlalu slow atau lamban; akibatnya ia selalu
tertinggal dan yang lebih menyedihkan mengenai hal yang seharusnya ia ketahui
telah diketahui lebih dahulu oleh siswa.
Tolok
(benchmark) ukur keberhasilan guru
dalam menghadapi tantangan di era tanpa batas ini tidak cukup hanya bermodalkan hardskill (kemampuan keahlian,
pelatihan, atau pengalaman), tetapi juga harus bermodalkan softskill, yaitu kemampuan mengelola diri sendiri dan membangun
hubungan harmonis dengan siswa dan seluruh stakeholders
pendidikan. Guru yang memiliki modal
atau kompetensi seperti ini adalah guru yang kaya pandangan alternatif yang
kreatif dan inovatif dalam menciptakan
paradigma baru pendidikan yang cerdas
dan berkualitas. Dengan kata lain, ciri guru yang mampu mengatasi
tantangan dan dapat melampaui kemajuan zaman adalah guru yang mampu berpikir
rasional, cepat dan tepat, yang pola pikirnya selalu dilandasi oleh ide-ide
cemerlang untuk menghadapi segala kemungkinan atau peluang yang bakal terjadi
di masa depan; memiliki budaya kreatif dan antisipatif dalam menyikapi kemajuan
dan dampaknya; senang bereksperimen dan menumbuhkembangkan iklim belajar
mengajar yang menyenangkan; selalu menghormati dan dan menjunjung tinggi cahaya inovasi
dan kreativitas.
Kekuatan guru adalah pengaruhnya
kepada siswa. Hal kecil di dalam diri guru berpengaruh besar terhadap diri
siswa. Kekuatan paling potensial dalam belajar bukan hukuman guru yang keras
kepada siswa, tetapi kebaikan dan pengertian. Jangan berikan PR kepada siswa
yang tidak bisa dijawab oleh guru, karena siswa tidak akan pernah melupakannya.
Guru memang diharuskan mengajar sesuai kurikulum, tetapi tidak ada yang
melarang untuk melakukannya dengan berbagai cara yang menarik. Bukankah ini
guru yang kreatif bermutu?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar